the world of my own versus parents

                                                                                                     April 23rd. 04.27 am
          Saya berani taruhan. Apapun. Tidak ada satu pun dari kalian yang berani bilang kalian ga cinta keluarga kalian. Mau itu utuh atau hanya tersisa ibu atau ayah dan beberapa saudara kandung. Saya mencintai keluarga saya, bagaimana pun keadaannya. Saya bersyukur dan menghargai apapun yang telah mereka ajarkan dan segala yang mereka berikan, maybe that’s the best that they can do. I’m talking about parents here. Papa dan mama saya masih utuh dalam status perkawinan. Saya sangat mensyukuri hal itu. Saya kadang sampe ga mau mikirin apa jadinya kalau saya terlahir sebagai anak dengan orang tua yang menyandang status single parent. Males, karena kebanyakan (orang-orang di sekitar saya) yang broken home itu berakhir dengan hidup yang ga jelas dan absurd. Saya punya banyak pertanyaan soal ini.
          Dimulai dari ….
  •  “emang kenapa sih kalo cuman punya ibu aja atau bapak aja?, terus hidupmu harus end up kaya gini?”  (ngeliat kehidupan seorang -mungkin dulu- teman yang kacau balau, money oriented life dsb).  
  • “kamu pikir semua orang yang orang tuanya masih utuh bisa nemuin peran orang tuanya masing-masing?. Bapak sebagai bapak dan ibu sebagai ibu” (saya bertanya kepada seseorang yang ga berhenti ngeluh kenapa Tuhan cuman ngasih dia seorang bapak aja di hidupnya).
  • “lo tuh ya, udah tau cuman punya ibu doang.mbok ya jangan nyusahin. Lo ngobat gini emang duit lo sendiri. Tapi apa ibu lo ga sedih, anak yang diharep-harepin malah jadinya begini?” ( *maafkan sikap sok pahlawan kesiangan saya*. saya lagi-lagi nanya ke temen kakak yang hidupnya ga jelas).
Dan masih banyak lah. Tapi selain berbagai tipe anak broken home yang emang broken (walopun ga total broken), saya juga menemukan segelintir anak dengan single parent yang hidupnya baik-baik saja dan mereka bisa survive kok. Lah terus rusak ga rusaknya anak itu tergantung dari apa?. Kalau memang pemikiran mereka sempit, masa iya mereka melakukannya secara massal?. Toh kalau berbicara soal keluarga, mengesampingkan peran orang tua, at least mereka punya banyak saudara dekat. Kakek, nenek, om, tante. sepupu dll.
Saya tahu mereka ga bisa milih mau dilahirkan dalam keluarga yang seperti apa. Semua udah ada jalannya dari Tuhan. Tapi kalau ada yang bilang takdir itu ga bisa dirubah, saya sedikit kurang setuju. Karena saya mempertahankan pendapat ini for years. Nasib atau takdir itu bisa dirubah, karena kita kembali ke hakikatnya sebagai manusia, itu diberi akal. Biar kita bisa melalui proses yang dinamakan memilih. Kalau memang dilahirkan dalam keadaan yang tidak sejalan dengan keinginan, kita masih bisa milih kita mau hidup seperti apa, jadi apa tanpa campur tangan keluarga. Keluarga atau mari kita perkecil lagi dengan istilah orang tua kadang menjadi halangan dengan apa yang kita pilih dan inginkan. Sukur-sukur mereka mendukung apa yang kita pilih, nah kalo ngga?. Konflik kan yang ada?. Saya sempat melakukan semacam diskusi dengan seseorang yang baru saya kenal beberapa minggu yang lalu. Dia tanya apakah orang tua saya tau kalau saya bikin tato 2 minggu yang lalu. Saya jawab singkat, “ngga.” Dia ga tanya lebih jauh, tapi saya menjelaskan. Saya memang berada di umur yang masih berada di bawah pengawasan orang tua, tapi ini keputusan saya untuk seumur hidup. Orang tua saya ga perlu tau juga masalah ini. Karena the things with parents often doesn’t runs well blablabla. Kalimat dia selanjutnya sempat bikin saya kaget. Dia bilang, “aya, ga ada di dunia ini orang tua yang paling ngga sepaham sama anaknya. Ngga ada. Kalaupun ada pasti jarang.”
Dalam hati saya, “eh goblok.kemana aja kamuuuu??. Bener tuh kata dia. Banyak hal yang diem-diem kamu lakuin sekarang karena kamu ga sepaham sama papa mama.” Ya Tuhan, untuk hal beginian aja saya musti sadar setelah ada orang yang ngomong. Saya menoleh ke belakang. Merinci segala hal yang diem-diem saya lakukan di belakang orang tua saya dan bahkan saya sampai berani gila-gilaan bohong sama mereka.
Soal kebiasaan merokok. Saya sempat diusir dari rumah gara-gara ini. Ketahuan pas kelas 2 SMA dan ini sukses bikin papa saya marah besar. Saya ga berani jamin apa yang akan saya hadapi kalau papa tahu ternyata saya masih melakukan kebiasaan ini. Someday you’ll read this,pap.
Soal memilih pacar. Papa saya orang yang picky dan ribet untuk urusan ini. Dari mulai agama, attitude, gaya pacaran, aktivitas pacaran dsb. Masalah attitude, okelah itu sangat acceptable. Mana ada sih orang tua yang mau liat pacar anaknya duduk petingkrangan di ruang tamu?. Gaya pacaran, saya juga masih blur ini maksudnya apa. Mungkin mengantisipasi pergaulan bebas. Aktivitas pacaran, ini sangat mengganggu. Saya keseringan nonton, malah di accuse demen mojok di bioskop. Hellooooo, kalau emang saya ini seperti yang dituduhkan, mau mojok itu bisa dimana aja. Ini udah taun berapa mojok masih harus di bioskop?. Liburan ke luar kota sama pacar?. Selamat bermimpi,nak. Mungkin itu pesan-pesan ala iklan yang bisa dilemparkan papa kepada saya. Datang ke rumah pacar untuk apapun alasannya, dibilang menurunkan derajat saya sebagai perempuan. Yang paling menggelikan dan menyebalkan adalah ketika it comes to religion. Papa saya tiba-tiba tidak memanusiakan seseorang hanya melihat agamanya. Bukan Islam berarti tidak baik. Beliau bisa gantung diri di pohon cabe kalau saya ikut kebaktian di kampus, misa di gereja atau bahkan menghapal lagu-lagu gereja maupun natal.
Soal memilih teman berdasarkan gender. Saya yang basically ga bisa temenan sama cewek harus against prinsip papa yang ga memperbolehkan anak perempuannya bergaul dengan banyak laki-laki. Saya stress setengah mati. Saya even ga dipaksa pun ga bisa berteman dengan perempuan. Saya ga suka. Dan papa sering kali melontarkan protes ketika saya minta ijin mau pergi sama teman-teman saya yang kebanyakan laki-laki itu. Katanya ga pantes lah, ga bisa jual mahal lah dan masih banyak lagi.
Dari yang saya ceritakan di atas kebanyakan konflik saya dengan papa ya?. Memang iya. Beliau orang yang sangat keras tapi merupakan sosok yang samar-samar dalam hidup saya. Hal ini disebabkan oleh profesinya juga. Saya ketemu beliau ini setahun cuman 6 bulan. Di satu sisi saya ga mau diatur sama orang yang ga mengerti dengan jelas saya ini tipe orang macam apa, mau saya ini apa, pilihan hidup saya ini dasarnya apa. Bukan karena saya merasa beliau tidak berhak untuk mengatur saya. Saya juga sadar diri, kalau beliau ga menjalankan perannya sebagai bapak yang bertanggung jawab terhadap keluarga, saya ga akan jadi kaya sekarang. Ga akan punya blackberry, ga akan bisa duduk dan nulis di coffee shop, ga akan bisa pulang pergi kuliah naik mobil dengan fasilitas supir dan masih banyak ga akan bisa lainnya.
Saya juga pengen melakukan diskusi terbuka dengan orang tua saya. Menjelaskan apa keinginan saya dan pilihan hidup saya. Tapi orang tua saya bukan orang yang pikirannya terlalu terbuka untuk melakukan itu. Walaupun mama saya orangnya lebih demokratis dan bijak daripada papa saya, tapi beliau mengemban tanggung jawab urusan rumah yang sepenuhnya diberikan oleh papa. Apalagi ketika papa sedang tidak ada di rumah.
Saya sejak lulus SMA ingin hidup mandiri. Makanya saya apply kuliah di universitas yang semuanya ada di luar kota, bahkan luar negeri. Saya berpikir kalau saya tidak belajar mulai sekarang, terus kapan lagi?. Saya ingin merasakan hasil jerih payah dan keringat saya, kerja sebagai part-timer dimanapun selama pekerjaannya juga bener. Tapi yang ada semua itu dihancur leburkan oleh orang tua saya. Dengan segala bantahan, larangan dan syarat yang ga masuk akal, menurut saya sebagai anak. Padahal saya juga ga sebodoh itu menentukan pilihan hidup saya. Saya ingin menemukan Tuhan melalui agama. Saya ingin memilih agama yang menurut kata hati dan panggilan saya. Tapi saya juga udah tau apa konsekuensinya saya melakukan hal itu.
Saya sering kali menghindar dari kenyataan kalau saya memang dilahirkan di keluarga seperti ini dan di mulailah kebohongan demi kebohongan serta berbagai macam alasan yang saya lemparkan begitu saja pada orang tua. Demi menjaga image saya adalah anak yang mereka banggakan versus anak yang memiliki pengharapan dan keinginannya sendiri. Saya menjadi bermuka dua. Dan ini ternyata berpengaruh besar dalam kehidupan sosial saya. Saya sering berbohong, bermuka dua dan berpura-pura, dengan motif yang sama kepada banyak orang.
Kadang saya ga bisa lagi nahan protes dengan bertanya kepada mama: “kapan sih aku dianggep dewasa?”, “kenapa sih susah banget buat mama papa ngerti mau ku apa?”, “sampai kapan sebenernya seseorang harus menjadi anak?” dan terakhir yang saya tanyakan pada mama papa beberapa waktu lalu: “bukankah ada saatnya kalian menyadari kalau anak kalian punya hidupnya dan jalannya sendiri?. Dan itu bukan ketika datang seseorang yang kalian anggap pantas lalu meminta aku untuk dinikahi?.” Hasilnya?, kalau mereka bisa menjawab pasti saya tidak akan menulis tulisan ini. Bagaimanapun, saya masih mencintai mereka. Kalau mereka bisa mencintai saya dengan segala kekurangan saya sebagai anak, kenapa saya tidak bisa?. Kadang keegoisan saya bisa luntur ketika mengetahui mama masih terjaga menunggu saya pulang larut malam. Ketika papa tidak berhenti menelpon dan menanyakan saya sedang berada dimana. Saya seketika menyadari, kasih sayang yang diberikan itu macem-macem bentuknya. Ga selalu manis, ga selalu romantis dan tidak selalu harus seperti yang saya mau. Mungkin seperti yang teman saya bilang, to be old, mature and wise, first you should be young, childish and stupid (oke, mature dan  childish itu hanya tambahan menurut karakter saya).

0 comments: