catatan menjelang dua puluh dua


The morning is coming, the coffee is brewing and my smile is beaming.
Matahari belum juga naik, tapi gelapnya langit sudah mulai memudar. Bintang yang menghiasi malam sudah saatnya pamit undur diri. Saya duduk dengan kopi panas dan mulai menuliskan ini.

Hari ini, hari terakhir saya berusia 21 tahun. Ada 1 tahun ke depan untuk menapaki pengalaman baru, cerita baru. Dua puluh satu...panjang rasanya. Ini bukan suatu pengumuman terselubung agar siapapun yang membaca ini berlomba-lomba untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya.

Catatan ini merupakan pengingat sederhana dalam perjalanan hidup saya tahun-tahun selanjutnya. Saya tidak butuh ucapan selamat atau selebrasi apapun bentuknya. Bukankah Soe Hok Gie pernah berkata bahwa "nasib tersial manusia adalah berumur tua"?. Tapi seiring bertambah umur saya, yang pastinya akan diikuti bertambahnya masalah dan pelajaran hidup, yang saya butuhkan adalah hal-hal yang sifatnya hakiki.
Tuhan, sebagai contohnya. 3 tahun sudah saya tidak pernah beribadah dengan tata cara agama yang diajarkan oleh orang tua. Jarak saya dengan Tuhan sudah semakin jauh, sudah tidak mungkin untuk diraih. Saya merasa jenuh dengan ajaran-ajaran agama, bukan berarti saya mengkafirkan diri. Rasa rindu itu ada, rasa rindu itu semakin menyala. Saya rindu rasanya beribadah. Benteng pertahanan atas segala pembenaran saya tentang agama dan konsep Tuhan mulai runtuh. Bantahan saya tidak lagi utuh. Saya rindu rasanya pulang, dimana hati merasa nyaman dan tenang setelah berdoa dan menyebut namaNya.  Sesegera mungkin saya harus membuat keputusan tentang ini, tanpa perlu saya pamerkan kepada khalayak.

Itu adalah urusan pertama...

Dan selanjutnya...

Mari saya pikir nanti  *cheers!*

0 comments: