Saya baru ditampar sesuatu, hanya dari pertanyaan seorang teman via BBM. Dia bertanya saya sedang berada dimana dan dengan sedikit bau-bau motif berniat mengajak saya pergi. Saya jawab BBM itu singkat, “nulis di tempat biasa. Aku lagi pengen sendiri” (berhubung saya udah mencium niatnya yang mau ngajak pergi itu). Ternyata dia belum juga membaca kode yang saya selipkan di kalimat jawaban BBM yang saya kirimkan. Dia lanjut bertanya: “sama siapa kamu disana?.” Helloooo..saya udah jawab juga, saya lagi kepengen sendiri. Berarti itu literally saya lagi sendiri (maaf, saya bukan lagi sinis atau sensi, tapi orang ini juga bukannya ga kenal karakter saya. Jadi saya pikir kalo saya udah jawab kaya gitu,dia ngerti maksudnya apa). Dengan sedikit terpaksa dan menahan jengkel, saya jawab singkat lagi, “sendiri.” Mungkin iya sih, saya sedikit lagi sensi. Karena saya ga suka apa yang ada di dalam kepala saya dan berusaha saya transfer ke dalam kata-kata, mendadak buyar karena masalah sepele. Ya seperti dengan adanya BBM ini, lagi teman saya ini belum puas juga dan terus meneror saya dengan rentetan pertanyaan yang sepertinya tidak berujung sebelum saya pulang atau ikut pergi sama dia. Hal paling simple saya lakukan adalah mematikan semua alat komunikasi saya. Yang ada di depan mata saya hanya dokumen-dokumen autosaved Microsoft Word dan iTunes. Saya kembali tenang dan sibuk dengan pikiran serta kalimat-kalimat yang membuat jemari saya ini sehat dengan menari di atas keyboard.
Saya sedang berada di coffee shop langganan, tempat duduk yang sama, dengan pesanan yang selalu sama dan juga waktu yang hampir selalu sama. Saya menyulut sebatang rokok, menyisipi kopi dan memandangi jalan yang dipenuhi kendaraan, suara riuh klakson dan pendar cahaya lampu-lampu kendaraan tersebut. Saya menemukan kenyamanan dan rasa damai disana, ketika tiba-tiba saya tersentak menyadari, saya duduk sendirian di meja dengan 3 kursi. Saya melirik jam tangan dan ternyata saya sudah 6 jam lamanya duduk disitu. Ya Tuhan, semasa bodo itukah saya?. Sampai tidak menyadari saya sudah sendirian, berjam-jam melewatkan waktu bercinta dengan laptop dan isi kepala saya?. Seberapa sering saya sendiri seperti ini?. Dan otak saya mulai melakukan rewind…..
Tahun lalu, saya bergabung dengan sebuah fitness club dan (seperti sindrom yang saya ga tahu apa namanya) di awal bulan saya rajin berolahraga di tempat yang sesungguhnya wasted tsb, dan para staffnya selalu bertanya: “sendirian aja,mbak?.” Well, saya pikir wajar aja saya sendirian. Saya berolahraga juga untuk diri saya sendiri dan teman-teman saya kebanyakan ga mau buang-buang duit bayar mahal demi gengsi aja olahraga disitu (tapi sumpah saya ga gabung disitu demi gengsi. I don’t give a shit for such thing). Tapi sampai 6 bulan berikutnya mereka masih bertanya hal yang sama, saya mulai jengah. Apa mereka pengen saya ngajak teman supaya customer mereka nambah plus saya juga punya teman untuk diajak berolahraga bersama?. Pada akhirnya saya menemukan teman yang mau diajak gabung, yang terjadi sama saya adalah saya semakin malas pergi ke gym tsb. Seriously. Teman saya udah protes, kenapa setelah dia gabung saya malah jarang latihan. Please, saya juga ga bego-bego amat untuk tidak bisa membedakan antara tempat olahraga dan ngobrol. Intinya saya ga bisa olahraga sambil ngobrol ataupun sebaliknya. I’m not able in multitasking. Saya lebih menikmati ketika saya berada disitu, sendirian. Bahkan sampai membership saya habis pun, I didn’t make any friends there. Ga tau juga kenapa. Mungkin karena niat saya dari awal juga bukan buat nyari temen ya.
Rewind masih berlanjut. Saya makan di sebuah restoran. Tempat yang menyenangkan dan selalu menjadi tujuan saya ketika hasrat ingin menikmati ikan mentah tidak terbendung lagi. Saya sudah di duduk di salah satu meja (yang lebih menyerupai cubicle) untuk 2 orang dan melihat menu yang ditawarkan. Ketika tiba saatnya saya memesan makanan, saya dihampiri seorang pelayan yang tersenyum sangat manis, menyapa dan mencatat pesanan saya (standar restoran lah). Pada akhir dia mengulang pesanan saya, dengan malu-malu dia bertanya: “kenapa kesini selalu sendiri sih,mbak?.” Saya sempet bengong sekian detik sampai saya dengan muka (yang bisa dijamin) bodoh menjawab: “iya, lagi pengen aja.” Knock knock, ayaaaaa. Ga ada di kamus hidup manusia sampe bisa di notice selalu datang sendirian dan itu cuman karena lagi pengen aja. Pengen sendiri kok terus?.
Rewind masih bergulir. Saya sedang antre tiket bioskop dan ketika saya sudah di depan mbak-mbak loket, menyebutkan nama film dan telunjuk saya menunjuk baris tempat duduk dan yang keluar dari mulut mbak loket adalah: “untuk dua orang ya?”, saya tersenyum getir dan menjawab singkat: “satu.” Tanpa peduli lagi pandangan mbak loket kepada saya. karena di kepala saya serasa ada orchestra yang bergema menjadi backsound pertanyaan saya, senista itukah kesendirian?. Emang nonton harus sama temen?. Kan selera saya sama temen beda. Dan di mulai lah segala pembenaran atas tindakan saya.
Rewind terus berjalan. Saya selalu ke coffee shop ini. Sama ngga sehatnya sih dengan pilihan saya melepas stress dengan cara nge-beer. Tapi at least saya ga harus pulang dengan kepala pening. Malah saya belajar banyak hal disitu, ketemu banyak orang dan dapet ide untuk tulisan saya. Menyenangkan dan mahal. Sebelum saya jadi regular customer disitu, para karyawannya mulai notice muka saya sampai pesanan saya yang selalu sama (ya iyalah, muka sama. Kecuali muka saya berubah jadi Scarlett Johansson *ngayal*). Saya mulai kenal sama mereka satu per satu. Sampai pada di penghujung acara (jreenngg jreenngg.belom kali!)..sampai tiba waktunya, satu per satu dari mereka mulai bertanya hal yang sama: “sendirian aja,mbak?”, “sama siapa kesini?.jangan bilang sendirian”, “ga sama temen,mbak?” (ya ini versi semakin halus). Saya mulai terbiasa hingga sangat terbiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan tsb dengan sabar. Karena sampai sekarang ini mereka selalu melihat saya duduk di meja dengan 3 kursi yang hanya diisi 1 orang, ditemani buku atau laptop atau hanya secarik kertas+bolpen dan segelas kopi, tapi mereka tetap menanyakan hal yang sama.
Rewind terhenti dan terciptalah tulisan ini. Jauh di dalam hati saya, ada yang berbisik: “tumben kamu ga nyolot ato sensi ditanyain gitu.” Well yeah, mungkin karena saya sudah menemukan jawabannya. Saya memang seorang penyendiri. Saya boleh saja baru ditampar sesuatu bernama kenyataan, yang menyebalkan: untuk hampir separuh atau mungkin lebih umat manusia menganggap kesendirian adalah sebuah bentuk keanehan. Ketika tiba masanya, ada seseorang yang menemani saya, saya juga merasakan kenyamanan. Sesuai dengan prinsip right time, right place and right person. Titik dimana saya mengatakan loud and clear, “saya menikmati kesendirian saya” bisa lenyap seketika. Ngga ada satu orang manusia pun yang mau selamanya hidup sendirian. Kalau ditarik dari segi kehidupan dalam sebuah film, ngga ada satu pun dari kita yang pengen jadi Tom Hanks di Cast Away atau Will Smith di I Am Legend atau peran apapun yang menjadi last survivor di dunia ini. Kita butuh orang lain karena kita makhluk sosial. Saya merasakan hal itu. I write what I feel. Banyak juga orang yang sudah merasa mendapatkan arti ketika ada kehadiran manusia lain di sisinya. Merasa limbung tanpa kehadiran sosok yang ada untuk melengkapi. Saya pernah ada di tempat itu. Indah, bahagia tapi memabukkan dan mematikan.
Somehow, saya menikmati waktu ketika saya sedang sendiri karena saya sadar saya butuh pendekatan terhadap diri. Saya cinta keluarga, sahabat dan teman-teman saya. maka dari itu saya juga harus mencintai diri saya. Dimana saya juga bisa memberi waktu untuk berteman dan melakukan dialog dengan diri sendiri. Intinya menikmati waktu sendirian sebagai keharusan, bukan pilihan.
Karena hidup ini akan menjadi sesuatu yang harus benar-benar dijalani sendiri. Tanpa teman. Soon or later.
0 comments:
Posting Komentar