All Is (not) Well

May 10th 2012


    
           “Kebenaran itu milik siapa?.” Ini pertanyaan pertama saya ketika membaca berita tentang aksi anarkis Majelis Mujahidin Indonesia (saya baru mendengar nama ormas ini untuk pertama kalinya) yang terjadi pada saat diskusi buku Irshad Manji, Allah, Liberty, and Love di Jogjakarta semalam. Mereka seakan candu meneriakkan nama Tuhan dengan menendang makanan, memecahkan kaca dan menyakiti sesamanya. Siapa dan datang darimana kalian?. Tahukah kamu bahwa tidak ada satupun yang menyukai tindakan sok benarmu?. Apa kata Tuhan yang kalian teriakkan namaNya ketika melihat perbuatan kalian?.

          Saya baru saja pulang dari suatu acara bersama seorang sahabat. Hari sudah menjelang pagi, karena belum mengantuk kami menghabiskan waktu dengan mengobrol. Dia duduk dengan segelas wine dan saya meminjam laptopnya untuk membuka beberapa email. Kami saling berceloteh, sampai tiba-tiba saya hanya bisa terdiam, mencerna berita yang saya baca dari timeline twitter saya dan saya pamit ke kamar mandi….untuk menangis. Iya, saya menangis sesenggukan di dalam kamar mandi. Puluhan ketukan pintu saya biarkan begitu saja. Ada rasa perih, benci, penasaran yang tidak bisa saya ucapkan dengan kata-kata. Saya tidak yakin harus menjawab apa bila ditanya kenapa saya bisa menangis sesedih itu. Waktu saya akhirnya keluar kamar mandi, untungnya teman saya tidak bertanya ada apa dengan saya..yeah, saya yakin dia sudah membaca berita itu juga di layar laptopnya. Dia cuman merentangkan tangannya dan membiarkan saya menangis, lagi. Kali ini di pelukan hangat seorang sahabat. Dia, walaupun tidak dalam dan tidak banyak, bisa memahami kebingungan saya. Kebingungan saya terhadap apa yang terjadi dengan dunia ini. Yes, I’m overthink about this or I’m being dramatic of something which obviously not my business. I just felt sick with all the madness. Begini ya rasanya tumbuh dewasa dan akhirnya memahami setiap hal yang terjadi  di dunia ini. Sahabat saya cuma bisa diam, pada akhirnya saya sudah bisa tenang pun, ia hanya menaikkan sebelah alisnya dan bertanya satu kata, “lalu?.” Jawaban saya sederhana walaupun terdengar sangat bodoh. Saya menjawab, “I don’t wanna live in this planet anymore.” And that’s it, yes, I don’t want to live in this crazy and mean planet anymore. Tanpa harus berpikir saya mau tinggal dimana kalau bukan di Bumi. 

            Ini bukan hanya karena masalah diskusi buku Irshad Manji yang untuk kedua kalinya dibubarkan paksa. Saya menangis 1 jam lamanya adalah akumulasi dari beberapa hal yang saya abaikan sebelumnya. Kemarin siang, saya membuka sebuah link video dari retweet-an seorang teman tentang ibu yang menganiaya seorang bayi yang masih merangkak. Saya bukan seorang ibu, saya mungkin tidak tahu rasanya memiliki seorang anak, tapi video itu benar-benar membuat saya mengutuk dan membiarkan mulut saya melemparkan sumpah serapah terhadap perbuatan perempuan tidak berperi kemanusiaan itu. Are you crazy?, that was just a baby. A baby! for God sake. How could you do that to a baby?. Perih tapi saya belum bisa menangisi apa-apa ketika itu. Setelah itu saya membaca berita di sebuah website, kampus sekelas UGM menutup pintu dengan membatalkan  diskusi buku Irshad Manji. Alasannya menjaga keamanan tamu (baca : Irshad Manji). Menjaga keamanannya dari apa?, dari bom waktu berupa organisasi agama yang belum tentu jelas nama dan eksistensinya?. Kita, manusia dengan intelektual, tidak perlu menjadi semakin bodoh untuk dibohongi. Katakan dengan jujur bahwa ada ketakutan yang besar akan aksi anarkis yang bisa saja memakan korban jiwa. Kita, manusia yang merdeka, memiliki hak untuk setuju dan tidak setuju terhadap apapun, asalkan kita tahu apa alasannya. Pertahankan benar atau salahmu di dalam konteks diskusi saja. Lalu bagaimana kita bisa membuka pikiran, tanpa harus mengubah pendirian kita, terhadap pendapat lain ketika semua waktu dan ruang diskusi ditutup begitu saja. Kebebasan berpendapat seharusnya dilindungi Negara, bukan diusir aparat yang ketakutan dan berlindung dibalik kata’tertib’ dan ‘aman’. Kebebasan memilih yang tidak sejalan dengan orang-orang kebanyakan dianggap penyakit yang menular. Di luar dunia saya, tidak ada yang baik-baik saja. Manusia dengan sifat yang keji tidak memanusiakan sesamanya yang memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda tentang hidup.  Itu mengerikan dan terjadi di kehidupan ini. Saya berterima kasih kepada FPI yang mendekatkan saya dan masyarakat lain dengan sosok Irshad Manji. Semua orang bertanya-tanya siapa dia, apa isi bukunya dan setelah mereka membaca bukunya, tidak akan ada lagi pemikiran dangkal dan picik ala FPI yang menghakimi isu penyebaran paham gay & lesbian yang dipandang sebagai penyakit dan  dijadikan alasan pembubaran diskusi buku di Jakarta beberapa waktu yang lalu.  Pembenaran atas penafsiran kitab suci belum tentu benar. Namanya saja tafsir dan itu datang dari beberapa kepala yang di doktrin radikalisme. Apa yang mau dipercaya?. Apapun agamamu, di dalamnya pasti tidak mengajarkan kekerasan. Siapapun Tuhanmu, Ia pasti mengajarkan kasih terhadap sesama manusia. Jadi, kebenaran itu milik siapa?. Entahlah, yang saya tahu manusia hanya bisa mencari kebenaran. Begitulah adanya, tanpa pernah bisa mendapatkan kebenaran sepenuhnya. Fight with your voice, scream for your and others freedom and let us see what peace could do.

0 comments: