The Matter of Being Eligible


God knows I was trying to write a piece or two for once, twice, three times a lady. Masalahnya, topik yang mau saya tulis itu punya tendensi untuk jadi basi. Review film atau album (lagi) atau resep makanan (lagi). Those are my thing and I don't care if you guys will read it or not. Saya juga bukan pengamat sosial dan politik yang beritanya selalu "panas". However, I'm gonna write something because I want to and so be it.

Eligible. Pasti pernah kan ya denger istilah yang terkenal di kalangan urban ini?. Kenapa mungkin cuman di kalangan urban?. Karena kalau saya tanya ke tukang becak atau tukang jualan cireng yang lewat depan rumah, mereka pasti ga ngerti. Eligible berarti memenuhi syarat. Pantas untuk dipilih. Shortly, memenuhi syarat untuk dipilih. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk dikatakan eligible juga klise. Muka oke, otak encer, pergaulan luas, body yang punya bentuk dan masih banyak lagi. Ujung-ujungnya bakal jatuh ke standar. Titik.

Eligible itu adalah gelar yang diberikan seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang. Menurut saya, seseorang ga bisa sembarangan self proclaimed sebagai eligible person in town or whatever. Jumawa jadinya. Emang situ oke?, sampe bisa nepuk-nepuk dada bilang, "I am eligible." Sekali lagi, standarnya ditetapkan oleh orang lain dengan faktor yang bercabang lebih parah dari brainstorm mapping. Suatu majalah di Ibukota sampai mengadakan malam penghargaan "Eligible Bachelors". Pertanyaannya, sepenting apa status eligible untuk seseorang?. 

Saya punya temen baik yang sempat lama terpisah dan begitu kita ketemu lagi, dia terkaget-kaget dengan transformasi saya yang dulunya bocah ingusan yang polos dan sekarang sudah jadi kaya sekarang ini (saya juga ga ngerti kaya sekarang itu kaya apa sebenarnya). Dia sempet tanya sama saya, "kamu punya feeling bakal jadi eligible bachelorette in town ga sih?." Saya males jawab, karena harusnya dia tahu, I don't give any fucking shit about that. Tapi mungkin karena pertanyaan yang itu, yang harusnya jadi adu argumen atau diskusi itu tidak terjawab, jadilah saya gelisah sehari semalam. "What one should gain to be an eligible person?," kata suara kecil di kepala saya. Pengetahuan?. Tampang?. Keuangan?. Saya ga mau peduli dengan standar yang sudah saya sebutkan diatas agar saya bisa diterima disana-sini. Agar saya memenuhi syarat orang lain. I'm gonna live as who I am. Not as who I was or who I will be one day. Changes are inevitable. Saya hanya enggan takluk pada standar menjadi orang yang memenuhi syarat untuk semua orang yang mengenal saya, karena saya tahu manusia punya sifat tinggi hati. Ada satu orang saja yang bilang, saya berkualitas, saya bisa saja meninggikan diri dalam waktu semalam. Padahal, menjadi tidak hirarkis itu penting. We're equal as human but with different quality and capability. Sometimes we just need to hold back, a little bit

Jadi intinya, does it matter to you or not, akan kembali ke individu masing-masing. Siapa yang tidak boleh berbangga diri disebut dan diakui berkualitas? (yeah, walaupun kita tidak mau). Boleh saja. Yang disayangkan adalah ketika outstanding points milik kita menjadi overrated and make us have no control in self-flattering, hanya karena kita ingin memenuhi syarat diterima oleh orang lain. 
     

0 comments: